Monday, August 31, 2009

MEMPREDIKSI ARAH KOALISI PARTAI POLITIK

Pasca Pemilihan umum Legislatif April 2009 serta Pemilihan umum Presiden Indonesia dan wakil Presiden Indonesia Juli 2009, seluruh Partai politik yang tergolong dalam tiga kelompok koalisi pendukung pemilihan umum Capres dan Cawapres Juli lalu kembali melakukan geliat politiknya untuk mencari “wilayah kekuasaan” ke dalam lembaga Legislatif ( DPR / MPR ) sebagai lembaga “penerbit” peraturan perundangan – undangan dan/atau ke lembaga Eksekutif (pemerintahan).
Sebagaimana kita ketahui bersama, Partai Demokrat saat ini berusaha menggalang koalisi kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan maksud hendak mencalonkan salah satu kader PDIP di DPR yakni Taufik Kiemas sebagai calon Ketua lembaga eksekutif, penulis memprediksi langkah ini merupakan salah satu strategi jangka panjang Partai Demokrat yang telah berhasil menempatkan kader terbaiknya sebagai pucuk pimpinan lembaga eksekutif yaitu Jabatan Presiden Republik Indonesia untuk menstabilisasi iklim perpolitikan nasional, yang wujud nyatanya pembagian kekuasaan. Adanya Pembagian kekuasaan akan bernilai positif apabila dalam perjalanannya nanti antar lembaga tersebut akan s terjadi tindakan saling mengontrol dan saling mendukung suatu kebijakan yang sifatnya membangun, dan bukan sebaliknya. Bagaimana pula sikap Partai Golkar sehubungan upaya Partai Demokrat yang hendak berkoalisi dengan Partai PDIP ?, Penulis memprediksi Partai Golkar akan memilih jalan politik ke arah lembaga eksekutif dalam kabinet menteri, mengingat para calon Ketua umum partai Golkar sebagian besar basis karirnya berhubungan dengan Bisnis dan Munas Partai Golkar baru akan berlangsung Oktober mendatang serta, masih ada kesempatan untuk “berkompromi” politik jelang pengumuman Kabinet pemerintahan mendatang akan dilaksanakan Pasca Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih sebagimana hasil Pilpres Juli 2009 lalu, sangat memungkinkan akan terjadinya perimbangan kuota dalam kabinet baik yang berasal dari partai politik maupun akademisi serta dari independen.
Jika memperhatikan formasi Partai politik ketika menjelang pemilihan dan mendukung salah satu Capres/Cawapres, secara “ Etika “ seharus hanya Partai Politik Pendukung dan yang menjadi Koalisi Partai Demokrat yang mendominasi kabinet Pemerintahan, yang selain itu bertindak sebagai apa yang disebut Oposisi. Bersikap oposisi sama dengan bersikap menjunjung Demokrasi, berdemokrasi yang baik adalah bersikap menghormati partai pemenang Pemilu beserta kebijakannya di masa mendatang, jika ingin merubah suatu iklim politik dari lawan oposisi, menangkanlah pemilihan umum lima tahun mendatang. Satu hal yang patut ditanamkan dalam berpolitik bahwasanya Penguasaan personal partai politik yang mayoritas yang duduk dalam suatu lembaga tidak berarti akan selalu ada sikap pengenyampingan suara atau pendapat dari personal partai politik yang minoritas. Bersikap mendukung suara ataupun pendapat yang terbaik bagi penyelesaian segala masalah adalah prioritas cara bekerja di kelembagaan eksekutif dan legislatif , setidaknya agar semua rencana kerja yang telah dirancang dan ditetapkan dapat terlaksana dengan baik sesuai harapan seluruh masyarakat.

Fauzan Daromi, SH.
Pemerhati Masalah Sosial
READ MORE - MEMPREDIKSI ARAH KOALISI PARTAI POLITIK

Thursday, August 27, 2009

MEMBINA KELUARGA DENGAN MENGENALI BIBIT PERCERAIAN

Perceraian suami istri merupakan keputusan yang paling tidak di inginkan terjadi oleh siapapan pasangan suami istri dan akibatnya bukan hanya dirasakan oleh pasangan suami istri yang bercerai, tapi juga terhadap anak – anak mereka ( bagi yang telah mempunyai anak ) dan hubungan perbesanan kedua keluarga dari pihak suami maupun pihak istri. Berdasarkan Pasal 3 Ayat (1) Undang – undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan secara prinsip melarang perceraian dan berasas monogami. Hanya untuk sebab dan alasan tertentu yang dibolehkan oleh hukum serta dengan pembuktian yang sah pengajuan perceraian dapat di izinkan oleh pengadilan. Untuk mencegah perceraian, ada baiknya kita mengetahui dan mengenali akar permasalahan yang memungkinkan menjadi bibit perceraian itu, Ada berbagai alasan dan sebab perceraian yang diajukan oleh masyarakat khususnya pasangan suami istri ke pengadilan, pada umumnya antara satu alasan perceraian dengan alasan lainnya hampir selalu berkaitan, sebagian diantaranya secara umum sebagai berikut :
1. Penyalahgunaan keuangan keluarga
Keuangan dalam keluarga pada umumnya bersumber dari hasil pekerjaan suami, namun pada kenyataannya tidak sedikit pula istri ikut pula bekerja membantu mencari uang uang untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga, besar kecilnya uang yang dihasilkan dari pekerjaan bukanlah suatu ukuran penentu siapa yang layak menjadi kepala keluarga ataupun tulang punggung utama dari keluarga. Bahkan tidak sedikit ada keluarga yang bekerja secara bersama (mengikut sertakan anak) untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Yang menjadi permasalahan adalah pengelolaan keuangan dari keluarga untuk hal – hal yang tidak disenangi oleh salah satu pasangan suami istri itu, misalnya : suami menggunakannya untuk berjudi, mengkonsumsi minuman atau obat – obatan terlarang dan lain – lain, sehingga menggangu pengelolaan seluruh keuangan keluarga dan dampaknya dirasakan seluruh keluarga.
2. Adanya pihak ketiga dalam keluarga
Pihak ketiga dalam rumah tangga bisa berasal dari keluarga ataupun orang lain yang serumah dengan kita. Tidak sedikit pasangan suami istri yang karena suatu alasan tertentu harus tinggal seatap bersama orang tua atau mertua, bahkan ada pula yang beserta saudara kandungnya. Kebersamaan dalam satu atap dapat berpotensi memunculkan berbagai masalah keluarga, misalnya : adanya ketidak mampuan beradaptasi kebiasaan pola hidup antara satu pasangan suami istri yang satu dengan pasangan suami istri lainnya atau antara menantu terhadap mertua, Yang paling sulit adalah masalah memilih siapa yang harus dibela dan diutamakan ketika terjadi perselisihan antara orang tua kandung kita dengan istri atau suami kita. Bahkan dapat pula muncul permasalahan dalam pengelolaan keuangan keluarga, walaupun biasanya pemilik rumah tempat tinggallah yang mengendalikan keuangan namun karena sesuatu hal sumber keuangannya dapat tidak berasal dari pemilik rumah misalnya anak memberi uang belanja yang nilainya besar kepada orang tuanya selaku pemilik rumah dan setelah dibelanjakan tidak sesuai dengan makanan minuman yang dihidangkan. Dari masalah ini dapat muncul niat pindah tempat tinggal berpisah dari rumah orang tua ataupun mertua untuk menyelesaikan masalah, namun suami atau istri kita yang anak kandung menolak karena harus patuh pada orang tua dan lain - lain, kita dituntut pilih patuh pada orang tua atau pasangan kita. Kebanyakan akhirnya salah seorang memutuskan meninggalkan pasangannya untuk berpisah hidup.
3. Gangguan Kesehatan yang berhubungan dengan Seksual
Pada masa sekarang dahulu ataupun sekarang ini, masih sering kita menjumpai ataupun mengetahui ada pernikahan yang mana selisih usia pasangannya sangat jauh layaknya orang tua dan anak, dan yang perlu diperhatikan bahwa semakin tua usia seseorang akan semakin rentan yang bersangkutan terkena gangguan kesehatan yang berhubungan dengan terganggunya aktivitas hubungan seksual, misalnya : Diabetes, jantung dan sebagainya. ketidak cukupan nafkah batin juga dapat menjadi bibit salah satu pasangan untuk mencari pemenuhannya ataupun pelampiasannya kepada orang lain.
4. Kekerasan dalam rumah tangga
Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya dipicu ketidakmampuan pasangan atau salah satu pasangan dalam mengendalikan emosi dan tidak mampu memecahkan kebuntuan fikiran dalam memecahkan masalah keluarga yang sedang dihadapi, serta di ikuti sikap sama – sama tidak mau mengalah atas pendapatnya masing – masing, ketidakmampuan untuk menghentikan pertentangan itulah yang membuat salah satu pasangan secara spontan dapat menggunakan perkataan kasar dan atau menggunakan tangan dengan atau tanpa sesuatu benda disekitarnya menganiaya pasangannya dengan maksud pertentangan yang dihadapi segera berakhir seketika itu.
5. Suami atau istri melakukan Tindak pidana
saat masa sulit mencari pekerjaan dan ketatnya persaingan kerja seperti sekarang ini,apalagi bagi suami atau istri yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, mereka harus dituntut kreatif dalam mencari dan menciptakan lapangan pekerjaan. Permasalahan yang muncul adalah ketika terdesak kebutuhan hidup, salah satu pihak suami atau istri mencari nafkah dengan cara – cara yang melanggar hukum, misal: menjual obat – obatan terlarang dengan atau tanpa sepengetahuan pasangannya, sehingga sewaktu yang bersangkutan telah di proses hukum dan pidana hingga berakibat terpenuhilah salah satu syarat pengajuan perceraian atas pasangannya di pengadilan agama (bagi pasangan beragama islam) ataupun di pengadilan negeri setempat sesuai domisili istri. Alasan perceraian ini cukup kuat mengingat dampaknya membuat salah satu pasangan ini akan mendapat cara pandang dan pemikiran yang negatif dari keluarga dan lingkungannya, dan anjuran yang mengarah ke perceraian langsung atau tidak langsung akan datang kepadanya.
6. Perselingkuhan / berzinah dengan orang lain tapi tidak dengan menikahinya.
Hal yang menjadi dasar Pemicu Perselingkuhan sangat banyak, yang paling mendasar biasanya adalah adanya suatu ketidakpuasan yang berhubungan dengan seksual namun yang bersangkutan tidak mampu ataupun tidak bersedia membicarakannya dengan pasangannya untuk di cari solusinya, ditambah lagi adanya faktor – faktor lain yang mendukung seperti: bentuk pergaulan dan gaya hidup serta lingkungan, finansial yang cukup, sistem bekerja dan sebagainya yang secara langsung atau tidak langsung menciptakan kesempatan dan kemudahan untuk melakukan suatu perselingkuhan.
7. Poligami / pria beristri lebih dari satu tanpa sepengetahuan atau persetujuan istri lainnya
Terjadinya Pernikahan tanpa sepengetahuan atau persetujuan istri sangat berkaitan dengan ketidakmampuan suami memenuhi syarat tertentu agar dapat berpoligami secara sah berdasar ketentuan hukum yang berlaku di indonesia khususnya yang diterapkan di pengadilan agama. syarat yang utama adalah persetujuan istri yang telah dinikahi terlebih dahulu dengan calon istri yang berikutnya di hadapan sidang pengadilan agama, syarat finansial suami yang memadai, syarat Suami harus mampu bersikap adil terhadap istri - istrinya dalam segala hal dan syarat – syarat lainnya. Munculnya niat menceraikan suami karena istri merasa dibohongi, tidak mau dimadu /diduakan, dan sakit hati.
8. Perselisihan ataupun pertengkaran yang berkelanjutan
9. Perselisihan yang berkelanjutan dapat terjadi karena adanya perbedaan prinsip atau pendapat yang sangat mendasar dalam menyelesaikan permasalah rumah tangga, bahkan tidak sedikit pasangan yang menikah dengan latar status belakang sosial dan pendidikan dan profesi yang berbeda – beda. Perbedaan akan mempengaruhi pula terhadap pola pemikiran dan cara – cara mereka membuat suatu keputusan untuk menyelesaikan masalah, namun dalam hal ini bukan masalah yang selesai, tetapi keputusan yang selalu berbeda bedalah yang membuat masalah tidak selesai –selesai. Tidak tahan dengan pertengkaran akhirnya salah seorang memutuskan meninggalkan pasangannya untuk berpisah hidup.
Berdasarkan uraian pengenalan bibit ataupun sebab perceraian tersebut, penulis menyusun langkah dan Pola membina keluarga dengan 2 tahapan :
A. Pra menikah
1. Kenalilah kejujuran pasangan
Pada era seperti sekarang dimana teknologi berkembang dengan sangat pesat, disadari atau tidak bahwasannya teknologi telah dapat mengubah cara peradaban dan pergaulan antar sesama manusia, baik itu melalui hubungan telephone, telephone seluler, komputer yang terhubung via media internet dan sebagainya. Yang tercipta adalah budaya perkenalan dan berhubungan dari jarak jauh secara berkelanjutan dan tidak sedikit dari mereka yang setelah bertemu langsung kemudian langsung menyatakan mereka resmi pacaran bahkan ada yang melanjutkan ke jenjang pernikahan. Pergaulan seperti ini kalau diarahkan kepada yang positif akan menghasilkan sesuatu yang positif pula, misalnya tujuan pengembangan bisnis, namun sebaliknya kalau tujuannya untuk mencari hal – hal yang negatif, lambat laun akan berdampak juga pada keadaan rumah tangga, dalam media internet siapapun dan apapun dapat kita temui, Satu hal yang dilupakan, bergaul dengan teknologi kebanyakan tujuannya untuk menjalian hubungan sebanyak banyaknya dan seluas luasnya serta tingkat kebenaran ucapannya sulit untuk langsung dipercaya karena yang bersangkutan tidak kelihatan, bahkan tidak ada batasan status dalam pergaulan melalui teknologi ini, kalau tidak mampu menyikapinya dengan benar dan bijaksana, bibit kecurigaan dan ketidakpercayaan terhadap pasangan akan tumbuh subur dihati. Alangkah baiknya memulai suatu hubungan dengan membiasakan berucap jujur, dari mulai berteman sampai menjadi pacar, tunangan, hingga menikah. Indahnya hubungan masa pacaran itu karena ada disisipi unsur “ucapan bohong dan rayuan gombal”. Menikah adalah menjadi cita – cita dan tahap akhir dari suatu hubungan antara pria dan wanita. menjalani masa berumah tangga akan berlangsung seumur hidup sejak hari pernikahan kita, jika sebelum hari pernikahan sudah ketahuan ada tanda – tanda ketidakjujuran dalam berhubungan, berfikirlah dan pertimbangkan kembali untuk berumah tangga dengan calon suami atau calon istri anda. Sebab potensi akan terjadinya keretakan hubungan telah ada.
2. Kenalilah keluarga calon Suami dan calon istri.
Menikah bukan hanya menjadikan istri atau suami kita menjadi bagian dari keluarga besar kita, tapi keluarga besarnyapun akan menjadi keluarga besar kita, pada saatnya menikah, kita akan membutuhkan mereka untuk menyukseskan rangkaian acara pernikahan, bahkan akan menjadi suatu kebanggaan jika semua keluarga mendukung dan merestui hubungan pernikahan kita, dan akan lebih harmonis lagi jika ini terus berlanjut ke bentuk dukungan – dukungan lainnya selama rumah tangga kita berlangsung.
B. Sesudah akad nikah
1. Terimalah segala kekurangan pasangan
Sejak akad nikah selesai diucapkan, mulailah misteri prilaku asli pasangan mulai terungkap, kita akan sama melihat prilaku dari mulai akan tidur, bangun tidur, dan prilaku lain – lain sampai akan tidur lagi, berlangsung setiap hari seumur hidup. Dari Sekian prilaku yang terlihat tentu ada saja yang tidak cocok bagi pasangan lainnya. Misal : selama pacaran kalau ketemu penampilan alias dandanannya keren terus, setelah menjadi suami istri penampilan ternyata berubah. Jika perubahan tidak disikapi secara benar dan bijaksana, akan menimbulkan rasa kecewa dihati pasangan.
2. Jagalah dan pererat hubungan kedua belah pihak keluarga
Sebagai suami istri baru tentu banyak sekali pelajaran yang harus diserap untuk dapat menjadi suami atau istri yang kompak, pelajaran ini tentunya diserap dari orang tua atau mertua terlebih dahulu, tidak ada salahnya bertanya lebih dalam sambil bercanda mengenai perilaku dan kebiasaan suami atau istri kita sebelum menikah dahulu, Bahkan orang tua ataupun mertua itu lebih mengenalinya karena telah mengasuh dan merawat istri kita atau suami kita sejak masih anak - anak, Dan tidak sedikit pula para orang tua turut menjadi pembimbing dan membantu penyelesaian masalah – masalah rumah tangga anak - anaknya.
3. Carilah dan berilah nafkah lahir untuk keluarga sebanyak banyaknya sesuai kemampuan
Besar kecilnya penghasilan suatu rumah tangga bukanlah suatu ukuran bahwa suatu rumah tangga itu berpotensi mengalami keretakan ataupun kebahagian dikemudian hari, yang terpenting adalah kesetiaan terhadap janji cinta setiap pasangan tetap dipegang teguh dalam keadaan apapun. Pekerjaan dapat dicari, dari pekerjaan Rezeki dapat diterima dan diatur penggunannya, apabila sudah demikian terciptalah kenikmatan dan kebahagian hidup bagi setiap pasangan dalam berumah tangga.
4. Berilah nafkah batin kepada pasangan.
Adanya persamaan usia pasangan dan perbedaan usia pasangan ketika menikah, ataupun sama menikah diusia muda dan sama menikah diusia senja, hendaknya tidak mengurangi kemampuan setiap pasangan agar dapat saling memberikan dan merasakan kesenangan batiniahnya.
5. Usahakan selalu ada kebersamaan dalam kegiatan ibadah dan kegiatan lain baik itu yang sifatnya kesenangan maupun yang sifatnya kesusahan.
Jika kewajiban agama telah mampu dilaksanakan secara baik dan secara bersama, maka suami istri akan dapat memahami pula hukum – hukum agama itu yang berkenaan dengan keluarga berikut cara penyelesaian masalah – masalah keluarga yang timbul sesuai dengan hukum agama itu.
Demikian sekelumit pola umum pembinaan keluarga atau rumah tangga yang penulis uraikan sebagai bagian dari seorang praktisi hukum, penulis yakin bahwa setiap pasangan suami istri dalam berumah tangga mempunyai cara dan pola sendiri – sendiri dalam membina rumah tangga, pengenalan bibit perceraian bertujuan untuk mencegah perceraian dan bukan untuk sebaliknya. semoga ini menjadi nilai tambah bagi ilmu pengetahuan, bagi pasangan calon suami istri, dan guna turut berpartisipasi meminimalisasi perceraian dalam berumah tangga.


Fauzan Daromi, SH.
Pemerhati masalah sosial dan Praktisi Hukum
READ MORE - MEMBINA KELUARGA DENGAN MENGENALI BIBIT PERCERAIAN

Wednesday, August 19, 2009

PARTAI POLITIK DAN KEBIJAKAN EKSEKUTIF

Rangkap jabatan oleh pejabat eksekutif dan pengurus partai politik ( Parpol) semisal kepala Daerah tingkat II sekaligus pimpinan partai politik di Daerah tingkat II bukan hanya mempengaruhi kinerja yang bersangkutan dalam menentukan suatu kebijakan di eksekutif ataupun diparpol, tapi juga mempengaruhi pola pikir yang bersangkutan dalam berpolitik serta pola pikir para pendukungnya yang berada diluar parpol, lalu ditunjang pula oleh peran media massa yang jadi bagian konsumsi sehari hari masyarakat akan mampu mengubah percepatan perubahan pola pikir masyarakat dalam berpolitik.
Sebagaimana diketahui untuk dapat menduduki jabatan eksekutif ataupun legislatif saat ini, seseorang harus mempunyai kendaraan partai politik, yang pada masanya akan ikut pilkada ataupun pilpres ataupun pileg, Saat itulah pertaruhan dan pertarungan antara jabatan eksekutif dengan jabatan parpol “dimainkan”. Memang ada aturan jika seorang Pejabat eksekutif hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk periode berikutnya atau naik jenjang yang lebih tinggi, KPU telah menentukan pada waktu tertentu, si calon harus mengundurkan diri dari jabatan eksekutifnya sebagai syarat ikut pencalonan. Namun bagaimana tindakan KPU terhadap perilaku si calon yang telah lebih dahulu “ kampanye” sebelum perdaftaran dirinya di KPU sebagai calon kepala daerah ?, misalnya mengkampanyekan suatu program tertentu secara “rutin” di suatu Surat Kabar Harian lokal, itupun dilakukan ketika masih memegang jabatan eksekutif, yang tanpa harus berfikir keras pembaca surat kabar mengetahui intinya itu adalah suatu kampanye, yang akhirnya menjadikan imej diotak pembaca ataupun masyarakat, untuk bisa berpolitik dan sukses harus pandai melakukan aksi kampanye terselubung dengan segala trik- triknya,. Nah, Larangan perilaku seperti ini penulis kira layak untuk jadi perhatian oleh DPR pusat lalu dijadikan bagian dalam perundang undangan tentang parpol, gunanya agar tercipta “Fair Play” ataupun keadilan dalam berkampanye, akibat pelanggaran misalnya dengan sanksi parpol terkena pengurangan waktu kampanye sebelum pemilu dilaksanakan oleh KPU, lamanya pengurangan ditetapkan berdasarkan hasil investigasi oleh KPU setempat.
mengenai perilaku gonta ganti partai politik. pada kenyataannya, anggota parpol sangat memegang peranan penting bagi pimpinan parpol untuk merencanakan,menentukan kebijakan dan melaksanakan segala visi dan misi parpol, mereka inilah kunci pemenangan pemilu, selalu ada tim sukses dibelakang pimpinan parpol ataupun calon pejabat eksekutif maupun calon legislatif dalam berkampanye untuk mencari dukungan suara sebanyak banyaknya, walau dari segi teknis parpol banyak mengontrol kinerja eksekutif melalui wakilnya yang ada di Legislatif, proses melesatnya karir kader ataupun anggota parpol bermacam macam, ada pimpinan parpol yang karirnya langsung melaju ke eksekutif, ada yang langsung ke legislatif saja, ada pimpinan parpol yang berada diluar eksekutif dan legislatif, bahkan ada yang bertahun tahun mengabdi dipartai namun tidak pernah mengecap jabatan politik yang strategis apapun. konflik muncul ketika masa pilkada, pejabat eksekutif ataupun calon pejabat eksekutif sering gonta ganti partai biasanya ketika akan pilkada, perilaku ini menimbulkan strategi politik yang tidak sehat antara anggota parpol atau antar parpol yakni aksi saling ” buka kartu “personal calon eksekutif ataupun parpol saat kampanye. dari itu perlu pula dipikirkan bagaimana menciptakan aturan yang melarang aksi buka kartu, namun hanya membolehkan aksi membuka potensi diri calon eksekutif yang sebanyak banyaknya. Bahkan perlu dijadikan wacana bahwa pimpinan parpol tidak boleh merangkap jabatan legislatif, supaya kinerja legislatif dapat dikontrol oleh partai politik, sehingga parpol dapat menilai kinerja anggotanya untuk pencalonan legislatif ataupun pencalonan jabatan eksekutif pada pemilihan umum periode berikutnya, longgarnya aturan partai politik yang memudahkan seseorang keluar masuk sebagai anggota partai politik, menjadikan sikap tidak loyal seseorang pada suatu organisasi sebagai hal yang biasa, karena dianggap hal biasa lama kelamaan berubah menjadi suatu budaya dalam berpoltik, yang pada akhirnya budaya itu jadi sangat sulit untuk dirubah lagi menjadi suatu aturan baru yang buat oleh legislatif.
Menurunnya loyalitas berpartai politik timbul karena ketiadaan kesempatan untuk tampil sebagai pengemudi parpol ataupun tidak lolos sebagai legislatif ataupun eksekutif, parpol di ibaratkannya sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan, seseorang bisa tiba - tiba menjadi anggota suatu parpol dan langsung menduduki puncak jabatan parpol disuatu daerah tertentu, lalu dalam waktu singkat menjadi calon pejabat eksekutif, dalam beberapa waktu kemudian menjadi pejabat eksekutif, ketika masa jabatan eksekutif akan berakhir, si pejabat eksekutif itu pindah lagi ke parpol yang lain, Perilaku ini terjadi karena tidak ada ketentuan umum batasan minimal pengalaman berkarir didalam suatu parpol sebagai syarat menjadi calon eksekutif ataupun calon Legislatif, parpol tidak mempersulit seseorang melakukan aksi berpindah antar parpol, bahkan tanpa proses seleksi motivasi pindah parpol, Penulis kira hal ini perlu juga direalisasikan peraturan perundang undangannya, Tujuannya agar lembaga partai politik tidak menjadi seperti suatu kendaraan ataupun batu loncatan untuk mencapai suatu tujuan politik semata, melainkan juga sebagai wadah pendidikan politik bagi masyarakat, walau berbeda parpol dengan segala visi dan misinya, pada akhirnya tetap mengutamakan kepentingan bersama yakni membangun bangsa dan negara indonesia agar terus lebih baik disegala bidang, Diharapkan dimasa mendatang, pemisahan jabatan eksekutif ataupun legislatif dengan parpol dapat direalisasikan dan diterapkan dari jajaran yang tertinggi hingga didaerah tingkat II di seluruh indonesia.
Berdasarkan hal ini, penulis berpendapat rangkap jabatan antara pengurus parpol dan eksekutif ataupun pengurus parpol dan legislatif tidak akan menambah baik kinerja yang bersangkutan, akan selalu terjadi tarik menarik kepentingan terutama dalam hal perencanaan kegiatan pembangunan disuatu daerah, misal jika seorang kepala daerah berasal dari anggota parpol yang terbanyak menduduki kursi terbanyak di DPRD yang bersangkutan, tentu dalam mengambil kebijakan akan dominan mengikuti pendapat rekan separtainya, begitupula sebaliknya, akhirnya akan terjadi perilaku saling dukung – mendukung kebijakan dengan yang separtai saja ataupun dengan yang mayoritas saja, sementara pendapat dan kebijakan dari partai minoritas tidak menjadi prioritas utama. Penulis berpendapat, solusi bagi seseorang yang telah menjadi pejabat eksekutif atau legislatif yang berasal dari pimpinan ataupun pengurus parpol adalah merubah status keanggotaan diparpolnya menjadi anggota biasa, namun dapat kembali memimpin parpol setelah tidak lagi memegang jabatan eksekutif ataupun legislatif. Pemisahan jabatan parpol dan eksekutif akan menimbulkan suatu bentuk pengawasan kerja dari parpol terhadap kadernya yang duduk sebagai pejabat dilembaga eksekutif maupun pejabat dilembaga legislatif.
Pada akhirnya, apapun perilaku anggota parpol, Baik yang merangkap jabatan di eksekutif ataupun yang merangkap jabatan di legislatif, masyarakatlah yang akan menilai baik buruknya kinerja mereka menurut cara yang diatur oleh undang undang, pada periode dan waktunya kelak, masyarakat akan memilih siapa calon eksekutif ataupun calon legislatif yang layak mereka pilih dikertas suara pada masa pemilihan umum, bahan pertimbangannya mereka dapatkan dari media massa, berikut analisa politik dari segala pakar politik maupun dari penilaian pribadi masing-masing.

Fauzan Daromi, SH.
Pemerhati masalah sosial
READ MORE - PARTAI POLITIK DAN KEBIJAKAN EKSEKUTIF

Tuesday, August 11, 2009

Pembentukan Opini Publik ala Megawati


Keyakinan Megawati bahwa MK pasti perhatikan Rakyat (Kompas/ 11 Agustus 2009, tidak lain merupakan upaya untuk menggiring opini publik bahwa Jika MK menolak tuntutannya sama saja MK menolak menyuarakan hak rakyat.

Penggiringan opini ini tentu saja bertentangan dengan perkataannya yang tidak ingin mengintervensi MK dalam mengambil keputusan. Karena secara tidak langsung upaya tersebut sama saja mengadu domba MK dengan Rakyat indonesia untuk kepentingan politiknya.

Apalagi Megawati juga mengatakan, yang menurut penulis lebih tepat disebut "mengancam" dengan kalimat: "Kalau sekiranya ditolak, secara politik akan jadi preseden di kemudian hari".
READ MORE - Pembentukan Opini Publik ala Megawati

Friday, August 7, 2009

EFEKTIFITAS PENYALURAN BANTUAN UNTUK MASYARAKAT

sering kita melihat baik langsung maupun tidak langsung begitu beragam bentuk program penyaluran dan pemberian bantuan untuk perseorangan atau segolongan ataupun kelompok yang dinyatakan dengan istilah miskin atau tidak mampu atau golongan berekonomi lemah baik itu oleh lembaga pemerintah pusat atau daerah, dari lembaga swasta, ataupun dari sesama masyarakat. Istilah bantuan – bantuan tersebut berbeda – beda sesuai sebutan yang ditentukan oleh pemberi bantuan, misalnya : program Bantuan Langsung Tunai, program Beras Miskin, dan sebagainya. Perseorangan atau kelompok ataupun golongan yang sering kita lihat sebagai penerima bantuan diantaranya : mereka yang kondisi tempat tinggalnya dianggap kurang layak, mereka yang pekerjaannya disifatkan berat karena mengutamakan kekuatan fisiknya, mereka yang tidak mampu bekerja dikarenakan usia, dan sebagainya.
Berpedoman pada Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi : “Tiap – tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, ditegaskan bahwasannya sejak awal berdirinya Negara Republik Indonesia antara pemerintah dan rakyat sudah ada ketentuan umum yang mengatur hak dan kewajibannya masing – masing. Bagi pemerintah, Untuk dapat mewujudkan suatu kehidupan yang layak untuk seluruh rakyatnya, diperlukan suatu asset dan sumber daya yang tidak sedikit serta waktu yang sangat lama, bahkan mungkin tidak akan pernah terwujud. dengan adanya program bantuan – bantuan dari pemerintah untuk rakyatnya ataupun masyarakat, setidaknya cita – cita pemerintah dan rakyat terutama yang miskin untuk mewujudkan suatu penghidupan yang layak semangatnya tidak pernah berhenti dan harus terus bergulir, bantuan hanya suatu pemicu ransang untuk lebih giat berusaha mencapai penghidupan yang layak baik secara sendiri - sendiri maupun secara bekerja sama.
Dalam praktek, penyaluran dan pemberian bantuan kepada si miskin tidak sedikit ditemukan berbagai permasalahan yang berakibat terjadinya kecemburuan antar masyarakat yang menerima bantuan dan yang tidak menerima bantuan karena penerima bantuan tidak memenuhi suatu kriteria tertentu yang membuktikan ianya miskin atau tidak mampu ataupun berekonomi lemah. Bantuan – bantuan untuk masyarakat dari pemerintah pusat ataupun daerah sebelum di berikan biasanya terlebih dahulu diadakan pendataan dan penelitian oleh Kepala pemerintahan yang tingkatnya terendah, atau yang didelegasikan kepada badan statistik, atau oleh lembaga peneliti tertentu, maksudnya agar bantuan yang diberikan benar – benar mengenai sasaran dan bermanfaat bagi penerima bantuan. Dengan pertimbangan pemerataan bantuan, dalam suatu lingkungan rukun tetangga ada saja warga yang mendapat bantuan padahal si penerima bantuan belum tentu sangat membutuhkannya, sebaliknya disuatu rukun tetangga lainnya banyak warga yang sangat berhak atas suatu bantuan namun karena terbatasnya bantuan, menjadikan ada warga yang harus tidak mendapatkan haknya memperoleh bantuan.
Disinilah permasalahannya, kebijakan suatu pemerintah atau lembaga mengenai bantuan kepada masyarakat apabila dikaji dari segi misi dan visinya pada umumnya sangat baik dan bermanfaat, setelah bantuan tersebut di selenggarakan oleh aparaturnya dengan berbagai dasar data, penelitian,di dalam laporan, semua prosedur yang telah dilaksanakan dinyatakan seolah ataupun sudah sangat mengena pada sasaran yaitu mereka yang dianggap memenuhi kriteria miskin, padahal pada kenyataannya belum tentu seluruhnya mengenai sasaran yang tepat. Ada aparatur pemerintah yang benar - benar melakukan pendataan langsung jauh hari sebelum bantuan diserahkan, berprilaku jujur, ada aparatur pemerintah yang melakukan pendataan tidak langsung, cukup melalui data dikantornya tanpa meneliti ulang kebenarannya, misalnya catatan Kartu Keluarga,catatan kartu tanda penduduk atau berdasarkan hasil sensus – sensus yang pernah diadakan oleh suatu badan statistik seperti sensus ekonomi. Puncak dari ketidaktepatan aparatur pemerintah dalam menentukan siapa – siapa yang berhak menerima bantuan adalah kata” ketidak adilan” yang diucapkan oleh masyarakat yang berhak menerima bantuan tetapi faktanya tidak menerima suatu bantuan. Secara teoritis dari Aristoteles, ada dua macam keadilan: pertama keadilan distributif ,yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya (pembagian menurut haknya masing masing ). Kedua,keadilan komutatif yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa – jasa perseorangan. Lalu, bentuk keadilan yang bagaimana yang dapat diterima masyarakat agar setiap proses dan pasca penyaluran bantuan tidak menimbulkan suatu konflik di masyarakat?
Bagi aparatur pemerintahan desa yang warganya sedikit serta wilayahnya kecil, tugas pendataan warga bukanlah pekerjaan yang sulit, ditambah lagi aparatur yang interaksi sosialnya baik, dan pada umumnya lebih merakyat, karena kepala desa yang bersangkutan dipilih dan berasal serta tinggalnya menetap didalam wilayah desa itu sendiri, ianya sangat mengetahui siapa – siapa yang berhak memperoleh bantuan. Sebaliknya aparatur pemerintah di perkotaan yang warganya banyak, sulit untuk berinteraksi sosial karena kesibukan individu warga, masalah perseorangan atau kelompok warga miskin yang tidak terdaftar sebagai warga tapi diketahui tinggal diwilayahnya, salah satu hal seperti inilah diantaranya yang menjadikan aparatur sulit menerbitkan surat keterangan miskin ataupun tidak mampu ataupun berekonomi lemah atas pemohon – pemohon yang mengaku dirinya miskin ataupun tidak mampu ataupun berekonomi lemah. Surat keterangan miskin, sudah merupakan salah satu syarat umum untuk memperoleh suatu bantuan langsung atau tidak langsung dari pemerintah ataupun dari suatu lembaga non pemerintah.
Jika dapat diandaikan syarat penerima bantuan sama dengan pelajar yang mengikuti ujian nasional, dapat dinyatakan lulus apabila memenuhi standar nilai minimum pada tiap – tiap suatu mata pelajaran yang diujikan. maksudnya, kriteria seseorang yang dapat dikatakan miskin ataupun tidak mampu ataupun berekonomi lemah sedapat mungkin distandarkan pula, agar ianya berhak dapat menerima bantuan, dengan tidak menutup kemungkinan haknya dapat dicabut jika dikemudian waktu diketahui adanya suatu kepalsuan ataupun sesuatu hal yang menjadikannya tidak tergolong miskin lagi.
Dalam kamus bahasa indonesia,pengertian miskin yaitu : tidak berharta benda atau serba kurang, sedangkan harta artinya barang – barang ataupun uang dan sebagainya yang merupakan kekayaan. Pada kenyataannya penerima bantuan bukan hanya orang yang tidak berharta. Disekitar kita tidak sedikit para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya terutama yang ditingkat dasar namun mereka tidak mampu memenuhi biaya pendidikannya. pemberian bantuan berupa bea siswa ataupun bebas biaya sekolah sangat mengenai sasaran. namun, efektifitas dalam memberi bantuan yang dimaksud antara pemberi bantuan dan penerima bantuan masih ada suatu hubungan belajar mengajar di lembaga pendidikan, artinya pemberi bantuan dan penerima bantuan telah berada dalam satu lingkup tertentu dahulu, alangkah lebih baik pula jika bantuan diberikan langsung atau tidak langsung kepada perseorangan atau suatu kelompok atau golongan tanpa adanya suatu hubungan dan pamrih tertentu dari pemberi bantuan.
Memang bantuan seperti ini umumnya bersifat instan, namun masih ada cara lain yang lebih konkrit dan sudah berjalan namun kurang dioptimalkan, barangkali terkendala anggaran yang kurang besar dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. salah satu contohnya; Sebagaimana kita ketahui ada suatu lembaga kedinasan pemerintahan daerah yang hampir setiap tahunnya menyelenggarakan program pelatihan bekerja ataupun ketrampilan bagi mereka yang mempunyai kartu tanda pencari kerja, sayangnya program ini rata – rata diadakan setahun sekali, peserta pelatihan terbatas, sarana pendukung yang ada di lembaga pelatihan kurang mendukung dibanding dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi serta beragam lapangan kerja yang ada sekarang.
Berdasarkan hal ini dimasa kini dan mendatang perlu diciptakan suatu rumusan dan metode serta kriteria tertentu agar suatu bantuan yang diberikan kepada perseorangan atau suatu kelompok atau golongan tidak lagi bersifat instan bagi si penerima bantuan, dapat bermanfaat dan bernilai guna untuk peningkatan ekonomi, secara tidak langsung akan merubah taraf hidup perseorangan atau suatu kelompok atau suatu golongan dari keadaan miskin atau tidak mampu ataupun berekonomi lemah ke keadaan yang semakin membaik. Selain itu perlu diciptakan suatu sistem penyaluran bantuan yang benar – benar efektif dan dapat menyentuh kepada sasaran yang tepat, serta diciptakan pula sistem pengawasan terhadap aparatur penyalur bantuan disegala tingkatan,juga organisasi pengawasannya diharapkan juga dapat melibatkan pihak swasta ataupun lembaga swadaya masyarakat.

Fauzan Daromi, SH.
Pemerhati masalah sosial dan budaya
READ MORE - EFEKTIFITAS PENYALURAN BANTUAN UNTUK MASYARAKAT

Mbah Surip dan WS Rendra Berpulang

Innalilai wainnalilahirojiun, pelantun "Tak Gendong"yang khas dengan gaya tawanya "hhaa....hhaaa,,," telah meninggal dunia. Dikabarkan sakit sejak beberapa hari lalu, Mbah Surip tutup usia di umur 60 tahun.Tepat pada pukul 10.30 WIB, penyanyi bernama asli Urip Ariyanto menghembuskan nafas terakhirnya di salah satu rumah sakit di Jakarta.Mbah Surip yang naik daun lagi sejak meluncurkan hits Tak Gendong, itu sempat dilarikan ke RS Pusdikkes, kawasan Jakarta Timur. Kepergian Mbah Surip tentu saja sangat mengejutkan. Selama ini ia kelihatan bugar saat menghibur para penggemarnya. Bahkan dijadwalnya sendiri berencana syuting video klip bersama Ringgo Agus Rahman di single keduanya. Pria kelahiran 5 Mei 1949 Mojokerto. beberapa album yang sudah keluar sejak 2007, antara lain IJO ROYO-ROYO (1997), INDONESIA I (1998), REFORMASI (1998), TAK GENDONG (2003) dan BARANG BARU (2004). Belum Hilang kesedihan kita untuk Mbah Surip kini menyusul berpulang WS Rendra, Salah satu sosok yang turut mengukir kisah panjang perjalanan Indonesia. Selamat Jalan!
READ MORE - Mbah Surip dan WS Rendra Berpulang